Ada Apa di Balik Film “?”

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” QS. ash-Shaff (61) : 8

Sudah menjadi Sunnatullah, musuh-musuh Islam akan senantiasa melakukan berbagai upaya untuk merusak Islam. Hal ini telah disinggung oleh Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an (QS Ash Shaf :9,QS At Taubah:32). Ayat di atas mengabarkan bahwa mereka hendak memadamkan cahaya Islam dengan bermacam cara dan sarana. Akhir-akhir ini makar dan tipudaya untuk merusak Islam semakin halus dan terselubung. Kalau dahulu mereka menodai Islam melalui ceramah, buku-buku, jurnal ilmiyah, maka saat ini mereka menodai kesucian Islam melalui dunia hiburan dan perfilman. Mereka juga memanfaatkan orang-orang Islam yang miskin iman dan ilmu untuk merusak Islam dari dalam.

Salah satu contoh dan bukti yang dapat dikemukakan untuk pernyataan di atas adalah Sebuah film berjudul “?” (baca: Tanda Tanya) garapan Hanung Bramantyo.

Setelah berhasil mencitraburukkan pesantren melalui film “Perempuan Berkalung Surban” (PBS) sutradara muda yang katanya produktif (produktif merusak Islam) ini kembali berulah.Dia kembali melakukan pembusukkan terhadap Islam melalui film “?”. Ada apa sebenarnya dibalik film “?” ini?

Murtad Perkara Biasa
Film ini berusaha menggiring penonton kepada pemahaman bahwa murtad adalah sesuatu yang biasa. Hal ini nampak jelas dalam salah satu adegan ‘murtad’ yang diperankan oleh tokoh Rika. Rika yang semula beragama Islam pindah agama (murtad) menjadi penganut kristen Katolik karena kecewa terhadap suaminya. Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya. Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar.

Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah : 217).

Jadi, riddah/kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Tindakan murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?

Menyebar Kebencian
Hanung tampak sekali gagal membaca kegundahan mayoritas pemeluk agama di Indonesia, dimana umat Islam sesungguhnya menjadi korban terorisme. Kacamata Hanung dalam memandang konflik teroris, tampaknya sangat dangkal dan menjijikkan–mungkin kurang bahan bacaan atau hanya mengamini bisikan pihak tak bertanggungjawab. Terlihat di awal film, Hanung sengaja membuka adegan ngawur dengan olok-olokan antara warga etnis China dengan Jamaah Masjid. Mana mungkin etnis China dengan teriakan sedemikian keras di depan ratusan warga, menuduh Jamaah Masjid sebagai teroris! Kalau film ini hanya ditonton oleh Hanung dan kru-nya saja, saya kira tidak ada masalah. Namun ketika film ini ditonton oleh segala umur, segala agama, segala etnis, bukankah ini Hanung bisa dituduh sebagai penyebar kebencian melalui produk seni?

Yang sangat menyakitkan, olok-olok “Dasar Chino” yang diumpatkan Jamaah Masjid melalui logat Semarang yang kental kepada warga China di film itu juga sangat dipaksakan, karena olok-olokan semacam itu hanya pantas dilakukan oleh para tukang mabuk dan kumpulan orang yang mungkin sudah sangat akrab, bukan dalam kondisi serius seperti dalam film “?”. Kata-kata umpatan ‘Asu (baca: Anjing)’ pada beberapa kali adegan, tampak ngawur dan dilakukan secara sarkastis. Kalaupun itu pernah terjadi di sebuah sudut kecil di Semarang, tak elok rasanya diangkat ke layar lebar karena tidak sebanding dengan manfaatnya. Kalau boleh saya sebut, untuk membuat film seburuk ini, tak perlu menggunakan sutradara besar lulusan IKJ. Sampai di sini, Hanung saya kira sudah tidak sepantasnya melanjutkan film ini.

Sayangnya, adegan-adegan tolol, terus diblow-up, dimana umpatan-umpatan-umpatan itu justru digambarkan berasal dari mulut jamaah yang sedang menuju masjid lengkap dengan baju muslimnya. Sungguh ini hinaan paling dramatis dari sebuah film yang diproduksi perusahaan dalam negeri sendiri. Kita pantas curiga, ada apa dengan dengan LSF (Lembaga Sensor Film) kok bisa meloloskan film sarkas dan rasialis seperti itu? Jangan-jangan Hanung menyuap LSF.

Menyebarkan Pluralisme
Sangat mudah sebenarnya menyimpulkan misi utama film ini. film ini membawa satu pesan utama: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama. Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan — kalau perlu — dibuang kapan saja! Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian. Hal ini nampak pada salah satu segmen film ini, secara verbatim seorang tokoh Rika yang murtad mengatakan, Bahwa agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku, “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”

Jadi tidak sulit untuk menyimpulkan, Film ini secara vulgar sedang mengkampanyekan pluralisme agama, salah satu paham syirik modern yang bertentangan dengan Islam. Bahkan Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan haramnya paham yang diusung oleh para aktivs JIL tersebut . Pluralisme by defenition ; suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga. Nah, Film “?” ini membawa pesan besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama. Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan –kalau perlu– dibuang kapan saja! Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian.

Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga –karena kerelativannya– maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. (DR. Adian Husaini: artikel “Pluralisme agama: Parasit bagi agama-agama”)

DR. Syamsuddin Arif menyebutkan bahwa bagi kaum pluralis, pluralisme agama tidak sekadar mengakui keberadaan berbagai agama, mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun ‘porsinya’ tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan, walaupun ‘resepnya’ berbeda-beda. Terdapat banyak jalan menuju Tuhan. (DR. Syamsudin Arif: “Orientalis & Diabolisme Pemikiran”). Nah, sekali lagi inilah sesungguhnya pesan yang terselip dalam sepanjang adegan dan dialog film ini.

Paham pluralisme agama sebenarnya secara tidak langsung memaksa manusia untuk tidak yakin dengan agamanya, dan melarang meyakini bahwa agamanya sebagai ajaran yang paling benar. Lalu apa gunanya beragama? Oleh sebab itu, Jika direnungkan secara serius, Pluralisme sejatinya bisa begitu dekat dengan Atheisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya bersemayam juga satu ide dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”. Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.

Wahai Ummat Islam
Di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud yang menawan dan menghibur, ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu.” (QS 6:112)

Juga, Nabi Muhammad shallallaahu a’laihi wa sallam pernah bersabda:

“Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim).

Wallaahu waliyyuttaufiq.

Komentar

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer