Liberalisme, Gerakan Penghancur Moral Bangsa
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah); mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah)Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
( Terjemah al-Qur’an surah al A’raf: 179)
Pada sebuah acara di televisi swasta (14/06/2011), Burhanuddin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia membeberkan dari hasil survei “Tata Nilai, Impian, Cita-cita Pemuda Muslim di Asia Tenggara” yang diadakan oleh Goethe-Institut, The Friedrich Naumann Foundation for Freedom, Lembaga Survei Indonesia dan Merdeka Center for Opinion Research Malaysia.
Ada yang menarik dari wawancara tersebut. Akademisi yang juga sebelumnya terlibat aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL) ini menyatakan bahwa Pendidikan Agama yang mendoktrin menghasilkan pemikiran konservatif di antara anak-anak muda Indonesia. Mereka menolak seks sebelum menikah (96,2 persen), mengonsumsi alkohol (88,7 persen), atau menjauhi bahan psikotropika halus/mariyuana (99,2 persen).
Aneh, menolak seks sebelum menikah, tidak mengkonsumsi alkohol dan menjauhi narkotika dianggap kolot, tak sampai di situ pendidikan agama pun diserang karena dianggap sebagai biang dari semua itu.
Dari sini kita bisa melihat kemana bangsa ini mau diarahkan oleh kaum liberal. Mereka ingin menyingkirkan agama sebagai prioritas ke sekian, kalau perlu ditiadakan untuk memuluskan jalan mereka membentuk tatanan masyarakat yang bebas sebebas-bebasnya menghamba pada kesenangan dunia (hedonis) tanpa terikat pada aturan apapun.
Keberhasilan Liberalis di Barat
Di Eropa, Denmark adalah Negara yang dengan terbuka memproklamirkan diri sebagai sentra pornografi dan prostitusi, dan Copenhagen sebagai ibu kota Negara merangkap pusat akivitas seks bebas. Sejak tahun 1969 Denmark menghapuskan sensor film. Pada bulan November tahun yang sama, industri film porno Denmark mengejutkan dunia dengan menyelenggarakan The Covenhagen Sex Fair, sejak itu, Copenhagen dijuluki pusat pornografi, prostitusi, serta hiburan seks Live di Eropa. Diperkirakan sekitar 1500 pekerja seks ‘beraksi’ setiap hari. Jumlah ini terbagi dalam beberapa lokasi seperti panti pijat, bar dan juga mereka yang nekad ‘berkeliaran’ di jalanan.
Penghapusan sensor film yang diberlakukan di Denmark ternyata berlaku untuk semua, bahkan remaja sekalipun. Remaja minimal berusia 12 tahun boleh menyaksikan film apa saja yang diputar di bioskop, termasuk film biru. Film-film Amerika kadang-kadang dibuat dalam dua versi. Satu untuk Eropa Utara dengan bagian yang banyak adegan seksnya. Satunya lagi untuk konsumsi di USA sendiri dengan menghilangkan banyak adegan esek-esek. Keleluasan itulah yang amat disukai oleh penduduk Copenhagen.
Tahun 2007, sebuah lembaga yang bertugas melindungi dan melestarikan alam lingkungan di Denmark, kini sedang ramai menjadi buah pembicaraan, baik didalam negeri maupun diluar negeri. Gebrakan kontroversial yang baru dilancarkan, adalah menyebarkan sebuah atlas yang berisi 100 tempat terindah untuk melakukan hubungan seksual di alam terbuka. Dengan semboyan “Bebas berpornografi di alam lingkungan”, lembaga tersebut bermaksud memberikan rangsangan pada orang-orang Denmark agar tidak mentabukan melakukan hubungan seksual di alam terbuka.
Tahun 2009, para anggota delegasi peserta konferensi tingkat tinggi (KTT) dunia tentang perubahan Iklim (KTT Bumi) yang digelar di Copenhagen. Denmark, boleh menikmati hubungan seksual gratis dengan para pelacur kota tersebut. Servis Ini ditawarkan oleh sebuah serikat pekerja seks komersial Denmark. Selain sebagai bentuk keramah-tamahan. layanan Itu sekaligus sebagai protes terhadap pemda Copenhagen.dikarenakan Pemda mengeluarkan kartu pos bertuliskan “Jangan belanja seks” yang disebarkan di seluruh hotel di Copenhagen yang menjadi penginapan delegasi dari sekitar 130 negara. Karena Itu, sebagai balasan mereka menawarkan layanan gratis. Caranya pun mudah. Peserta yang berminat cukup mendaftar di situs organisasi itu. kemudian menyerahkan kartu pos itu kepada PSK
Seiring dengan kebebasan itu, Copenhagen juga bersikap toleran terhadap narkotika. Mereka bahkan membuka stand khusus untuk menjual barang-barang terlarang itu. Polisi pun tak melakukan tindakan apa pun untuk menghentikan. Kebebasan lain yang diberikan Copenhagen (juga Negara-negara yang termasuk dalam Scandinavia) adalah bagi mereka yang homoseks atau lesbian untuk menikah. Pesta pernikahan yang dilakukan oleh kaum homo atau lesbian di sana tak ubahnya pasangan normal lainnya.
Kita baru melihat negara Denmark, belum negara-negara barat lainnya. Tak ubahnya mereka hidup seperti binatang dan inilah yang ingin diadopsi oleh kaum liberal untuk kemudian “dipelihara” di negeri ini.
Setelah Agama dihilangkan maka Moral pun tidak ada dalam kamus kaum liberal. Ditengah hiruk pikuk teriakan kebebasan justru nilai-nilai kemanusiaan terampas. Bahkan, manusia terpuruk pada derajat yang terendah. Inilah buah kebebasan yang diyakini sebagai pembebas manusia dari ketertindasan.
Bagaimanapun, kerasnya seruan bahwa liberalisme tidak identik dengan kebejatan moral adalah sia-sia. Sejak kelahiran telah menafikan peran agama dalam kehidupan. Bukankah akar dari liberalisme adalah sekularisme? Mustahil menghadirkan peran agama dalam kehidupan liberalis. Yang ada justru marjinalilsasi peran agama yang kini kian akrab dengan istilah ‘privatitasi’ agama-menempatkan agama hanya dalam tataran privat, bukan publik. Ini adalah bahasa halus dari ‘character assassination’ (pembunuhan karakter) terhadap agama, dalam hal ini khususnya Islam. Andapun eksis, agama beserta institusinya hanya menjadi slender-alat pengesahan bejatnya paham liberalisme yang kini coba ditebar benihnya ditengah-tengah masyarakat.
Upaya untuk mengembalikan peran dan karakter Islam sebagai ideologi universal di tengah publik justru menuai antipati. Apabila contoh kasus ketika sejumlah kalangan mengancam pornografi dan pornoaksi sebagai bagian demoralisasi bangsa dan bertentangan dengan agama, air bah penentangan pun berdatangan. Seperti menentang, para pengusaha entertainment dan broadcasting malah mengelar aneka tayangan penggoda syahwat itu dengan atraktif.
Ulil Abshar Abdalla, salah tokoh Jaringan Islam Liberal pernah menggugat kalangan yang mempergunakan agama (Islam) sebagai alat pencekalan hiburan erotis. Ia menyatakan bahwa tindakan itu sebagai sikap ‘overmoralis’. Bagi Ulil, agama justru akan menjadi terhormat manakala menempatkan diri pada perannya -pada bidang privat- dan tidak melakukan penetrasi pada sektor publik, apalagi berupaya memformalisasikan diri dalam kehidupan. Lanjut Ulil, bukan zamannya lagi manusia membutuhkan nilai-nilai yang ‘super absolut’, karena semua lini kehidupan telah memiliki etika masing-masing (Mengebor Kemunafikan, FX Rudi Gunawan).
Meski demikian, Ulil menampik kesan ia mendukung kebebasan. “Kita tidak ingin bilang semua hal harus bebas. Tapi, kehendak satu kelompok untuk memaksakan standar moral harus diwaspadai, apa betul bermanfaat atau malah menghancurkan kreativitas masyarakat yang mulai tumbuh,” ungkapnya (Detik.com, 3/5/2003). Pandangan ini jelas absurd, menampakkan kekacauan dan ketidakkonsistenan pemiliknya terhadap pemikirannya sendiri.
Jelas benar terbaca, bahwa di mata para sekularis, aturan-aturan agama sebagai norma pembatas kehidupan layak ditampik. Keyakinan bahwa agama berperan sebagai ‘pil mujarab’ untuk mengatasi berbagai krisis kemanusiaan hampir sama dengan tahayul; ada tetapi tak bisa diwujudkan alias utopia. Lalu apa yang menjadi ukuran kebaikan bagi masyarakat liberalis? Tidak ada yang lain kecuali hedonisme, kesenangan fisik belaka. Artinya, upaya apa pun untuk menyenangkan diri adalah legal dan wajib mendapatkan tempat dalam kehidupan yang serba bebas ini.
Bagaimana di Indonesia?
Indonesia pun terbilang negara yang bebas membuat dan mengkomsumsi pornografi dan seks bebas. Menurut UU Pornografi-Pornoaksi, hanya orang yang ketahuan melakukannyalah yang akan dipidana dan diberi sanksi. Sedangkan yang free sex secara diam-diam tak akan dikenai hukuman. Industri esek-esek pun tak diblokir. Media-media seronok juga tak diberi sikap dan sanksi yang tegas.
Tingkat penggunaan narkoba pada masyarakat hedonis amat menonjol. Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut kehidupan macam ini mulai menuai ‘hasilnya’. Penggunaan narkoba di Tanah Air juga semakin meningkat, khususnya pada usia remaja. Menurut catatan WHO, jumlah pemakai narkoba di Tanah Air pada tahun 2003 mencapai 5 juta orang. Tingginya penggunaan narkoba ternyata juga berdampak pada meningkatnya pengidap virus HIV sebagai akibat penggunaan jarum suntik secara bergiliran di antara para junkies. Sepanjang tahun 2001-2002, jumlah pengidap virus HIV di Indonesia mengalami peningkatan hingga 900 %.
Free seks, hamil di luar nikah, homoseks, narkoba dan berbagai penyakit moral lainnya jika tidak diantisipasi dari sekarang maka akan menjadi berita biasa dan tidak tabu lagi bagi bangsa ini. Apalagi kehidupan tersebut dipraktekkan oleh sang artis yang notabene menjadi “Nabi” bagi kawula muda sekarang ini.
Kembali kepada Islam, Kembali pada Fitrah
Sebenarnya semua perilaku amoral tidaklah sesuai dengan fitrah manusia. Kehidupan bebas tanpa aturan bukanlah fitrah manusia melainkan itu hanyalah pelampiasan nafsu yang membabi buta. Islam sebagai agama yang universal menjamin fitrah ini dan tak satupun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah manusia.
Gempuran arus liberalisme yang mengajak manusia kepada kehidupan binatang dan menghamba pada kesenangan dunia haruslah dilawan. Tentu saja senjata yang paling utama adalah dengan berpegang teguh pada agama ini, agar tidak terseret dengan gelombang penghancuran moral. Kita bisa melihat bahwa yang ikut larut dalam kehidupan bebas tersebut hanyalah orang-orang yang tidak mempunyai pegangan kuat.
Makanya jika kita menginginkan generasi kita untuk lebih baik dan kuat untuk menghadapi gempuran tersebut kita harus mendidik dan menanamkan akidah yang kuat kepada mereka. Ke depan tantangan pasti jauh lebih besar dan dahsyat.
Wallahu Musta’an
Komentar
Posting Komentar