Menjemput Takdir
Suatu hari lelaki itu didatangi oleh tamu asing. Sesaat setelah memperkenalkan diri, sang tamu menyampaikan maksud kedatangannya. Rupanya sang tamu datang untuk menawarkan sesuatu yang tidak lazim. Jauh-jauh ia datang dari Bulgaria untuk menghadiahkan salah satu bola matanya untuk lelaki itu. Untuk tujuan itu ia tidak main-main, ia telah berkonsultasi dan telah mengantongi persetujuan dari seorang dokter spesialis.
Tawaran surprise untuk lelaki itu bukan kali itu saja, tapi beberapa kali. namun demi mendengar semua tawaran itu, lelaki itu menolak dengan halus, sehalus perangainya. Ia hanya mengatakan, “Semoga Allah memberkati kedua matamu dan memberi Anda manfaat. Kami telah redha dengan apa yang ditakdirkan Allah pada kami”. Ia menerima takdirnya sebagai penyandang tunanetra.
Laki-laki itu memang buta, tapi itu tidak menghalanginya menjadi cemerlang. Sebelum baligh ia sudah menghafal al-Qur’an. Bahkan ada yang mengatakan ia menghapal dan menguasai dengan baik Shahih al-Bukhari. Ini terlihat dari catatan komentarnya atas buku Fathul Bary penjelasan dari kitab Shahih Bukhari serta meluruskan berbagai kekeliruan aqidah yang mewarnai karya monumental Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut. Karena kecemerlangannya, lelaki ini menduduki posisi prestisius sebagai Mufti Umum dan ketua Hay’ah Kibar Ulama di Negara di mana ia berada
Kondisi lelaki ini juga tidak menghalanginya menuliskan karyanya dari berbagai macam topik; aqidah, hukum, tafsir, biografi yang sebagian besarnya merupakan respon atas kondisi kontemporer umat Islam. Semua itu terakumulasi dalam buku bernama Majmu’ Fatawa, karya master peace-nya yang semakin meneguhkan posisinya sebagai ulama dunia.
Dari sini kita mengerti bagaimana kekurangan tidak menjadi penghalang untuk meraih kecemerlangan. Begitulah tekad bekerja. Tekad memformulasi sedemikian rupa berbagai macam kekurangan, ketiadaan sarana, keterbatasan fasilitas menjadi ‘tidak lebih besar’ dari pada cita-cita dan harapan. Bahkan dalam konsdisi tertentu berbagai macam kelemahan dan keterbatasan itu akan bertekuk lutut di depan tekad yang membaja.
Lelaki itu, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz adalah bintang cemerlang di langit zamannya. Dengan keterbatasannya ia menyuplai cahaya untuk umatnya. Ia menerima takdirnya sebagai penyandang tuna netra untuk selanjutnya menjemput takdirnya yang lain sebagai ulama mumpuni abad ini.
Komentar
Posting Komentar